Welcom to BaONG Blog
JellyMuffin.com - The place for profile layouts, flash generators, glitter graphics, backgrounds and codes

Sunday, May 27, 2012

TIADA MANUSIA YANG SEMPURNA IMANNYA

Artikel Dr. Yusuf Qardhawi

 

Pertanyaan:
 
Apakah ada manusia yang sempurna?
 
Jawab:
 
Tiada manusia yang sempurna, karena setiap  orang  mempunyai
kelemahan. Seseorang yang beriman, tentu mempunyai kesalahan
dan memiliki sifat buruk yang sukar dihilangkan. Tiada orang
Mukmin yang murni atau sempurna.
 
Pandangan orang jarang ditujukan pada hal-hal yang berada di
pertengahan antara dua hal yang berdekatan.  Bagi  seseorang
sesuatu  itu  warnanya  putih saja, sebagian yang lain hitam
saja, mereka lupa adanya warna yang lain,  tidak  putih  dan
tidak pula hitam.
 
Nabi  saw.  pernah  bersabda  kepada  Abu  Dzar r.a., beliau
bersabda,  "Engkau  seorang  yang  masih  ada  padamu  sifat
Jahiliyah."  Abu  Dzar  adalah  seorang  sahabat yang utama,
termasuk dari orang-orang pertama yang beriman dan berjihad,
akan tetapi masih ada kekurangannya.
 
Juga didalam Shahih Bukhari diterangkan oleh Nabi saw.:
 
"Barangsiapa yang meninggal bukan karena melakukan jihad dan
tidak dirasakannya (tidak ingin) dalam jiwanya  maksud  akan
berjihad, maka dia mati dalam keadaan sedikit ada nifaknya."
 
Abdullah  bin  Mubarak  meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
r.a. yang mengatakan sebagai berikut:
 
"Seorang Mukmin itu permulaannya tampak sedikit putih  dalam
kalbunya;   setiap   kali  iman  bertambah,  maka  bertambah
putihlah  kalbu  itu.  Begitu  seterusnya,  hingga  kalbunya
menjadi putih semua.
 
Begitu juga kemunafikan, pertama ada tanda-tanda hitam dalam
kalbunya; dan setiap melakukan kemunafikan,  maka  bertambah
pula hitamnya, sampai hatinya menjadi hitam semua.
 
Demi  Allah,  jika  dibuka  hati  seorang Mukmin, maka tentu
tampak putih sekali; dan jika dibuka hati orang kafir,  maka
tentu tampak hitam sekali."
 
Ini berarti seseorang tidak dapat sekaligus menjadi sempurna
imannya atau menjadi munafik, tetapi kedua hal itu bertahap,
yakni sedikit demi sedikit.
 

HUBUNGAN ''BERSAMA'' SUAMI-ISTRI

Artikel Dr. Yusuf Qardhawi

 

Pertanyaan:
 
Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu
untuk  menanyakan  apa  saja  yang  berkaitan  dengan hukum
agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.
 
Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan
mengenai    hubungan   seksual   antara   suami-istri   yang
berdasarkan  agama,  yaitu  jika  si  istri  menolak  ajakan
suaminya  dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak
berdasar. Apakah  ada  penetapan  dan  batas-batas  tertentu
mengenai  hal  ini,  serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam  untuMk  mengatur  hubungan  kedua
pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
 
Jawab:
 
Benar,  kita  tidak  boleh bersikap malu dalam memahami ilmu
agama, untuk  menanyakan  sesuatu  hal.  Aisyah  r.a.  telah
memuji  wanita  Anshar,  bahwa  mereka tidak dihalangi sifat
malu   untuk   menanyakan   ilmu   agama.   Walaupun   dalam
masalah-masalah  yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,
dan lain-lainnya, di hadapan umum  ketika  di  masjid,  yang
biasanya  dihadiri  oleh orang banyak dan di saat para ulama
mengajarkan  masalah-masalah  wudhu,  najasah   (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.
 
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an
dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang
bagi  para  ulama  tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara  jelas  mengenai  hukum-hukum  Allah  dan
Sunnah   Nabi   saw.   dengan  cara  yang  tidak  mengurangi
kehormatan  agama,  kehebatan  masjid  dan  kewibawaan  para
ulama.
 
Hal  itu  sesuai  dengan  apa  yang  dihimbau oleh ahli-ahli
pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini,  agar
diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi
atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
 
Sebenarnya,  masalah   hubungan   antara   suami-istri   itu
pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya
memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
kesalahan   dan  kerusakan  terhadap  kelangsungan  hubungan
suami-istri. Kesalahan yang  bertumpuk  dapat  mengakibatkan
kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
 
Agama  Islam  dengan  nyata tidak mengabaikan segi-segi dari
kehidupan manusia  dan  kehidupan  berkeluarga,  yang  telah
diterangkan  tentang  perintah  dan larangannya. Semua telah
tercantum  dalam  ajaran-ajaran  Islam,  misalnya   mengenai
akhlak,  tabiat,  suluk,  dan sebagainya. Tidak ada satu hal
pun yang diabaikan (dilalaikan).
 
1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan
   dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan
   ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena
   itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan
   memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak
   untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi
   saw, yaitu menikah.
   
   Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:
   
   "Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih
   khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam,
   tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka,
   barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia
   bukan termasuk golonganku."
   
2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan
   setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara
   menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan
   mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan
   Nabi saw.:
   
   "Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat
   bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh
   dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw.
   menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang
   dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn
   pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya
   menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak
   menghitung hal-hal yang baik."
 
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang
lebih  agresif,  tidak  memiliki  kesabaran dan kurang dapat
menahan diri. Sebaliknya  wanita  itu  bersikap  pemalu  dan
dapat menahan diri.
 
Karenanya   diharuskan  bagi  wanita  menerima  dan  menaati
panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
 
"Jika si istri dipanggil oleh suaminya  karena  perlu,  maka
supaya  segera  datang,  walaupun  dia  sedang masak." (H.r.
Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).
 
Dianjurkan oleh Nabi saw.  supaya  si  istri  jangan  sampai
menolak   kehendak   suaminya   tanpa   alasan,  yang  dapat
menimbulkan  kemarahan  atau  menyebabkannya  menyimpang  ke
jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
 
Nabi saw. telah bersabda:
 
"Jika  suami  mengajak  tidur  si  istri  lalu  dia menolak,
kemudian  suaminya  marah  kepadanya,  maka  malaikat   akan
melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).
 
Keadaan  yang  demikian  itu  jika  dilakukan tanpa uzur dan
alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih,  berhalangan,
atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu,
menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt.  adalah
Tuhan  bagi  hamba-hambaNya  Yang  Maha  Pemberi  Rezeki dan
Hidayat,  dengan  menerima  uzur  hambaNya.  Dan   hendaknya
hambaNya juga menerima uzur tersebut.
 
Selanjutnya,  Islam  telah  melarang bagi seorang istri yang
berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya  lebih
diutamakan  untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala
puasa.
 
Nabi saw. bersabda:
 
"Dilarang bagi si istri (puasa  sunnah)  sedangkan  suaminya
ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).
 
Disamping  dipeliharanya  hak  kaum  laki-laki (suami) dalam
Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga  harus  dipelihara
dalam  segala  hal.  Nabi  saw.  menyatakan kepada laki-laki
(suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.
 
Beliau bersabda:
 
"Sesungguhnya bagi  jasadmu  ada  hak  dan  hagi  keluargamu
(istrimu) ada hak."
 
Abu  Hamid  Al-Ghazali,  ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab
Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:
 
"Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-
rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:
 
"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari
apa yang Engkau berikan kepadaku'."
 
Rasulullah  saw.  melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak,
maka tidak akan diganggu oleh setan."
 
Al-Ghazali berkata, "Dalam  suasana  ini  (akan  bersetubuh)
hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan
dan sebagainya; dan  menutup  diri  mereka  dengan  selimut,
jangan  telanjang  menyerupai  binatang.  Sang  suami  harus
memelihara suasana dan  menyesuaikan  diri,  sehingga  kedua
pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."
 
Berkata  Al-Imam  Abu  Abdullah  Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul  'Ibaad,  mengenai  sunnah
Nabi   saw.   dan   keterangannya   dalam  cara  bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:
 
Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
 
1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah
   yang ditetapkan menurut takdir Allah.
   
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan
   jika ditahan terus.
   
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana
   kelak di surga.
 
Ditambah  lagi  mengenai  manfaatnya,   yaitu:   Menundukkan
pandangan,  menahan  nafsu,  menguatkan  jiwa dan agar tidak
berbuat  serong  bagi  kedua  pasangan.  Nabi   saw.   telah
menyatakan:
 
"Yang  aku  cintai  di  antara  duniamu  adalah  wanita  dan
wewangian."
 
Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
 
"Wahai para  pemuda!  Barangsiapa  yang  mampu  melaksanakan
pernikahan,  maka  hendaknya  menikah.  Sesungguhnya hal itu
menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."
 
Kemudian   Ibnul   Qayyim   berkata,   "Sebaiknya   sebelum
bersetubuh  hendaknya  diajak bersenda-gurau dan menciumnya,
sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."
 
Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam  usaha  mencari
jalan  baik  tidak  bersifat konservatif, bahkan tidak kalah
kemajuannya daripada penemuan-penemuan  atau  pendapat  masa
kini.
 
Yang  dapat  disimpulkan  di  sini adalah bahwa sesungguhnya
Islam  telah  mengenal  hubungan  seksual   diantara   kedua
pasangan,   suami   istri,   yang  telah  diterangkan  dalam
Al-Qur'anul  Karim   pada   Surat   Al-Baqarah,   yang   ada
hubungannya dengan peraturan keluarga.
 
Firman Allah swt.:
 
"Dihalalkan  bagi  kamu  pada  malam  hari  puasa, bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah  pakaian  bagimu,
dan  kamu  pun  adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat  menahan  nafsumu,  karena  itu,
Allah  mengampuni  kamu  dan  memberi  maaf  kepadamu.  Maka
sekarang campurilah  mereka  dan  ikutilah  apa  yang  telah
ditetapkan  Allah  untukmu,  dan makan minumlah kamu, hingga
jelas bagimu benang putih dari benang  hitam,  yaitu  fajar.
Kemudian,  sempurnakanlah  puasa  itu sampai malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf
dalam  masjid.  Itulah  larangan  Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).
 
Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai
hubungan  antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan,
yaitu:
 
"Mereka itu adalah  pakaian  bagimu,  dan  kamu  pun  adalah
pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
 
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:
 
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu
adalah  suatu  kotoran.  Oleh  sebab  itu,  hendaklah   kamu
menjauhkan  diri  dari  wanita  di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  Apabila  mereka
telah  suci  maka  campurilah  mereka  itu  di  tempat  yang
diperintahkan Allah kepadamu.  Sesungguhnya  Allah  menyukai
orang-orang  yang  bertobat  dan  menyukai  orang-orang yang
menyucikan diri.
 
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah  tempat  kamu  bercocok
tanam,  maka  datangilah  tanah  tempat bercocok tanammu itu
dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki.  Dan  kerjakanlah
(amal  yang  baik)  untuk  dirimu,  dan takwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan  menemuiNya.  Dan
berilah  kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.
Al-Baqarah: 222-223).
 
Maka, semua hadis yang  menafsirkan  bahwa  dijauhinya  yang
disebut  pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja.
Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
 
Pada ayat di atas disebutkan:
 
"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan  cara
bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).
 
Tidak  ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya
masalah   dan   undang-undang   atau   peraturannya    dalam
Al-Qur'anul  Karim  secara langsung, sebagaimana diterangkan
di atas.

APAKAH NABI SAW MAKHLUK ALLAH YANG PERTAMA?

Artikel Dr. Yusuf Qardhawi

Pertanyaan:

Benarkah bahwa Nabi Muhammad saw. makhluk Allah yang pertama
dan bahwa beliau diciptakan dari cahaya?

Kami  mengharapkan  pendapat  yang disertai dalil-dalil dari
Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Jawab:

Telah diketahui  bahwa  hadis-hadis  yang  menyatakan  bahwa
makhluk  pertama  adalah  itu  atau  ini ... dan seterusnya,
tidak satu pun yang shahih, sebagaimana ditetapkan oleh para
ulama Sunnah.

Oleh  karena itu, kami dapatkan sebagian bertentangan dengan
sebagian  lainnya.  Sebuah  hadis  mengatakan,  "Bahwa  yang
pertama kali diciptakan oleh Allah adalah pena."

Hadis  lainnya  mengatakan,  "Yang  pertama  kali diciptakan
Allah adalah akal." Telah tersiar di antara orang awam  dari
kisah-kisah   maulid   yang   sering   dibaca   bahwa  Allah
menggenggam  cahaya-Nya,  lalu  berfirman,  "Jadilah  engkau
Muhammad."   Maka   ia  adalah  makhluk  yang  pertama  kali
diciptakan Allah, dan dari situ diciptakan langit, bumi  dan
seterusnya.

Dari itu tersiar kalimat:

"Shalawat   dan   salam  bagimu  wahai  makhluk  Allah  yang
pertama," hingga kalimat itu  dikaitkan  dengan  adzan  yang
disyariatkan, seakan-akan bagian darinya.

Perkataan itu tidak sah riwayatnya dan tidak dibenarkan oleh
akal,  tidak  akan   mengangkat  agama,   dan   tidak   pula
bermanfaat bagi perkembangan dari peradaban dunia.

Keawalan  Nabi  Muhammad  saw.  sebagai  makhluk Allah tidak
terbukti,  seandainya  terbukti  tidaklah  berpengaruh  pada
keutamaan  dan  kedudukannya  di  sisi  Allah. Tatkala Allah
Ta'ala  memujinya  dalam  Kitab-Nya,  maka  Allah  memujinya
dengan alasan keutamaaan yang sebenarnya. Allah berfirman:

"Dan   sesungguhnya  kamu  benar-benar  orang  yang  berbudi
pekerti agung" (Q.s. Al-Qalam: 4).

Hal itu yang terbukti dan ditetapkan secara mutawatir.  Nabi
kita  Muhammad  saw.  adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muththalib Al-Hasyimi Al-Quraisy  yang  dilahirkan  lantaran
kedua orang tuanya, Abdullah bin Abdul Muththalib dan Aminah
binti Wahb, di Mekkah, pada tahun Gajah.  Beliau  dilahirkan
scbagaimana  halnya manusia biasa dan dibesarkan sebagaimana
manusia dibesarkan. Beliau diutus sebagaimana para Nabi  dan
Rasul  sebelumnya  diutus,  dan  bukan Rasul yang pertama di
antara Rasul-rasul.

Beliau  hidup   dalam   waktu   terbatas,   kemudian   Allah
memanggilnya kembali kepada-Nya:

"Sesungguhnya  kamu  akan  mati dan sesungguhnya mereka akan
mati (pula)." (Q.s. Az-Zumar: 30).

Beliau akan ditanya pada hari Kiamat, sebagaimana para Rasul
ditanya:

"(Ingatlah)  hari  di  waktu  Allah mengumpulkan para Rasul,
lalu Allah bertanya (kepada  mereka),  'Apa  jawaban  kaummu
terhadap   (seruan)mu?'  Para  Rasul  menjawab,  'Tidak  ada
pengetahuan kami (tentang itu) sesungguhnya Engkau-lah  yang
mengetahui perkara yang gaib'." (Q.s. Al-Maidah: 109).

Al-Qur'an  telah  menegaskan  kemanusiaan  Muhammad  saw. di
berbagai tempat dan Allah memerintahkan menyampaikan hal itu
kepada orang-orang dalam berbagai surat, antara lain:

"Katakanlah,  'Sesungguhnya  aku  ini  hanya seorang manusia
seperti kamu, yang diwahyukann kepadaku, Bahwa  sesungguhnya
Tuhan  kamu itu adalah Tuhan yang Esa ...'." (Q.s. Al-Kahfi:
110).

"Katakanlah, 'Maha Suci  Tuhanku,  bukankah  aku  ini  hanya
seorang manusia yang menjadi Rasul?'" (Q.s. Al-Isra': 93).

Ayat di atas menunjukkan bahwa beliau adalah manusia seperti
manusia-manusia  lainnya,   tidak   memiliki   keistimewaan,
kecuali dengan wahyu dan risalah.

Nabi saw. menegaskan makna kemanusiaannya dan penghambaannya
terhadap Allah,  dan  memperingatkan  agar  tidak  mengikuti
kebiasaan-kebiasaan  dari  orang-orang  sebelum  kita, yaitu
penganut  agama-agama  terdahulu  dalam   hal   memuja   dan
menyanjung:

"Janganlah   kamu  sekalian  menyanjungku  sebagaimana  kaum
Nasrani menyanjung Isa putra Maryam. sesungguhnya aku adalah
hamba Allah dan Rasul-Nya." (H.r. Bukhari).

Nabi  yang  agung ini adalah manusia seperti manusia lainnya
dan  tidak  diciptakan  dari  cahaya  maupun  emas,   tetapi
diciptakan  dari  air  yang  memancar dan keluar dari tulang
sulbi  laki-laki  dan  tulang  rusuk  wanita  sebagai  bahan
penciptaan Muhammad saw.

Adapun dari segi risalah dan hidayat-Nya, maka beliau adalah
cahaya  Allah  dan  pelita  yang  amat   terang.   Al-Qur'an
menyatakan hal itu dan berbicara kepada Nabi saw.:

"Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi
dan pembawa kabar gembira serta  pemberi  peringatan.  Untuk
menjadi  penyeru  pada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk
menjadi cahaya yang menerangi."(Q.s. Al-Ahzab: 45-6).

Allah swt. berfirman yang ditujukan kepada Ahlulkitab:

"... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya  dari  Allah,
dan Kitab yang menerangkan." (Q.s. Al-Maidah: 15).

"Cahaya"  dalam  ayat itu adalah Rasulullah saw, sebagaimana
Al-Qur'an yang diturunkan kepada beliau adalah juga cahaya.

 Allah swt. berfirman:

"Maka berimanlah  kamu  kepada  Allah  dan  Rasul-Nya  serta
cahanya   (Al-Qur  an)  yang  telah  Kami  turunkan."  (Q.s.
At-Taghaabun: 8).

"...  dan  telah  Kami  turunkan  kepada  kamu  cahaya  yang
terangbenderang." (Q.s. An-Nisa': 174).

Allah telah menentukan tugasnya dengan firman-Nya:

"...  Supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
cahaya terang-benderang..." (Q.s. Ibrahim: 1).

Doa Nabi saw.:

"Ya Allah, berilah aku cahaya di dalam  hatiku  berilah  aku
cahaya  dalam  pendengaranku  dan  berilah  aku cahaya dalam
penglihatanku berilah aku cahaya dalam rambutku berilah  aku
cahaya   di  sebelah  kanan  dan  kiriku  di  depan  dan  di
belakangku." (H.r. Muttafaq Alaih)

Maka, beliau adalah Nabi pembawa cahaya  dan  Rasul  pembawa
hidayat.  Semoga  Allah  menjadikan kita sebagai orang-orang
yang mengikuti petunjuk cahaya dan Sunnahnya. Amin.

Menderma Darah Semulia-Mulia Sedekah



Dr. Yusuf Qaradhawi


Antara sumbangan yang paling berharga,yang boleh dihulurkan kepada pesakit oleh ahli keluarga dan teman-teman adalah menderma darah. Sumbangan ini sangat bermakna kepada pesakit ketika ia melalui proses pembedahan atau untuk membantu dan menggantikan darah yang begitu banyak keluar.

Ianya merupakan sebesar-besar jalan menghampirkan diri kepada Allah dan semulia-mulia sedekah,kerana ianya sama seperti menyelamatkan nyawa seseorang. Sesungguhnya Allah S.W.T telah menegaskan di dalam Al-Quranul Karim ketika menjelaskan tentang nilai nyawa manusia, firmanNya yang bermaksud: “Sesungguhnya sesiapa yang membunuh maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya, dan sesiapa yang menghidupkan seolah-olah dia menghidupkan manusia seluruhnya.”( Al-Maidah: 32 )

Andainya sedekah harta itu mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama, mendapat ganjaran pula dari sisi Allah sehingga Allah Taala menerimanya dengan tangan kanan dan Allah menggandakan sehingga 700 kali gandaan bahkan sampai kepada kadar yang Allah inginkan ( tak terhad ),maka bersedekah atau menderma darah tentulah lebih tinggi lagi kedudukannya dan lebih besar ganjaran pahala, lantaran darah itu adalah penyebab kelangsungan hidup.

Darah adalah sebahagian daripada manusia dan manusia pula lebih bernilai dari harta, dan orang yang menderma darah sebenarnya telah menderma sebahagian dari dirinya yang bersifat benda kepada saudaranya kerana kasih sayang dan perasaan mengambil berat.

Menderma darah, di samping ianya merupakan aktiviti sosial yang baik, ianya juga boleh membantu meringankan beban orang yang dalam kesedihan dan melepaskan bebanan kesusahan yang mencengkam. Ini adalah satu kelebihan lain yang menjadikannya mendapat lebih banyak ganjaran pahala di sisi Allah Taala. Nabi s.a.w bersabda: “Sesungguhnya Allah suka orang yang membantu orang dalam kesedihan.”( Riwayat Abu Yu`la Dailami dan Ibnu Asakir dari Anas sebagaimana tersebut dalam kitab Faidul Qadir: 2 - 287 ). Dalam hadis sahih tersebut: “Sesiapa melepaskan dari orang mukmin satu dari kesusahan- kesusahan dunia maka Allah melepaskannya satu dari kesusahan- kesusahan di Hari Akhirat.”( Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadis Ibnu Umar sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Lu`lu Walmarjan nombor 667 ).

Bahkan satu riwayat yang sahih dari Nabi s.a.w menyebut bahawasanya menolong haiwan yang memerlukan makanan dan minuman memperolehi ganjaran pahala yang besar dari Allah Taala sebagaimana tersebut dalam hadis tentang seorang lelaki yang memberi minum kepada seekor anjing yang kehausan.

Lelaki tersebut mendapati anjing itu menjulur-julur lidah sedang memakan tanah yang lembab kerana tersangat dahaga. Maka lelaki itu pun mengambil air telaga dengan menggunakan kasutnya lalu meletakkannya pada mulut anjing tersebut,lalu anjing itu meminumnya sehingga puas. Nabi s.a.w bersabda dan maksudnya: “Allah berterima kasih kepadanya, dan Allah memberi keampunan kepadanya. Lalu sahabat bertanya dalam keadaan tercengang-cengang: “Apakah kami mendapat pahala dengan sebab berbudi kepada binatang, wahai Rasulullah?” Jawab Rasulullah: “Ya! Berbudi kepada setiap yang bernyawa, akan mendapat pahala”. ( Bukhari dan Muslim sepakat tentang hadis ini yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagaimana tersebut dalam kitab Lulu`Wal Marjan – Hadis 1447 )

Jelas bahawasanya sahabat beranggapan ,berbudi kepada makhluk binatang tidak mendapat balasan pahala di sisi Allah, sahabat juga menganggap Agama Islam tidak memandang penting mengenainya.

Maka Rasulullah s.a.w menjelaskan kepada para sahabat,berbudi kepada setiap makhluk yang hidup akan mendapat ganjaran pahala, walaupun ianya binatang hatta anjing ….. apatah lagi kalau berbudi kepada manusia? Lebih-lebih pula berbudi kepada orang yang beriman?

Secara umumnya menderma darah ada ganjaran pahalanya yang besar. Tetapi menderma darah yang dilakukan oleh seseorang ahli keluarga terhadap seseorang ahli keluarga pastinya akan mendapat ganjaran pahala yang berlipat kali ganda, lantaran perbuatan tersebut boleh menguatkan hubungan kekeluargaan,dan merapatkan lagi tali persaudaraan sesama keluarga.

Berhubung perkara ini Rasulullah s.a.w. bersabda dan maksudnya: “Seseorang yang bersedekah kepada orang miskin akan mendapat satu pahala sedekah, manakala seseorang yang bersedekah kepada kaum keluarga akan mendapat dua kebaikan iaitu kebaikan sedekah dan kebaikan merapatkan hubungan kekeluargaan”.

Apakah Hukum Merokok Atau Rokok Itu Sendiri


Fatwa Oleh : Profesor Dr. Yusof Al-Qardawi


1 -        Pendahuluan
2-         Sebab diharamkan
3-         Mudarat harta
4-         Mudarat penghambaan
5-         Merokok diharamkan di sisi syarak


1.  Pendahuluan 

Segala pujian bagi Allah, selawat dan salam kepada pesuruhNya ( Nabi Muhammad S.A.W ),ahli keluarganya, sahabat-sahabat juga orang-orang yang mengikut jejak langkahnya.

Sesungguhnya telah muncul pokok ini yang dikenali dengan nama "  والتتن    " التمباك "  والتبغ والدخان "  di akhir kurun ke sepuluh hijrah. Oleh kerana pokok ini digunakan secara meluas di kalangan orang ramai, maka ianya telah memaksa alim ulama di zaman itu membahas dan mengkajinya untuk memberi penjelasan hukum dari segi syarak.

Memandangkan masalah ini adalah masalah baru,  tidak ada hukum yang dikeluarkan oleh Fuqaha, Mujtahidin yang lalu serta ulama-ulama selepas mereka dari kalangan Ahli Takhrij dan Tarjih dalam mazhab berkenaan perkara ini. Mereka juga tidak mendapat gambaran yang jelas tentang hakikat dan implikasinya berdasarkan kajian ilmiah yang betul, maka  berlakulah perbezaan pendapat yang ketara di kalangan ulama pada waktu itu. Ada di kalangan mereka yang memfatwakan haram, ada yang memfatwakan makruh, ada yang mengatakannya harus dan ada yang mengambil sikap berdiam diri tanpa membincangkannya. Fenomena ini juga berlaku kepada ke empat-empat mazhab ahli sunnah waljamaah.

Justeru itu kita tidak boleh menisbahkan kepada mana-mana mazhab, pendapat atau fatwa yang nengatakan merokok itu harus atau haram atau makruh.

Nyata kepada saya bahawasanya perbezaan pendapat di kalangan ulama mazhab-mazhab,  ketika permulaan  munculnya rokok,  penggunaannya begitu meluas dan berlaku perbezaan di antara mereka dalam mengeluarkan hukum tentangnya, bukanlah perbezaan dari segi dalil-dalil, bahkan perbezaan berlaku dalam menentukan `ilat (مناط ) yang ada pada rokok.

Ada di kalangan mereka yang mendakwa terdapat beberapa manafaat atau faedah pada merokok. Ada juga ulamak yang mendakwa terdapat mudarat dan manafaat yang sama berat pada rokok. Terdapat juga ulamak  yang tidak menyabitkan apa-apa faedah pada rokok tetapi menafikan terdapat mudarat pada rokok. Ini bermakna sekiranya mereka dapat memastikan ada mudarat pada perkara ini, pasti mereka mengharamkannya tanpa wujud perdebatan.

 Di sini kami berpendapat untuk menyabitkan ada dan tidak ada implikasi buruk terhadap tubuh badan pada rokok dan benda-benda lain yang ada unsur ketagihan, ianya bukan bidang kuasa ahli feqah, bahkan ianya adalah bidang kuasa ahli perubatan dan penganalisis. Merekalah sepatutnya yang dirujuk dalam masalah ini kerana mereka adalah ahli sains dan banyak pengalaman. Firman Allah S.W.T yang bermaksud :” Tanyalah orang yang tahu tentang perkara itu”, “ Tidak boleh menceritakan kepada engkau seperti mana orang yang alim”.

Secara umumnya para doktor dan penganalisis sebulat suara menjelaskan implikasi buruk merokok ke atas tubuh badan secara umum, dan secara khususnya terhadap paru-paru dan organ pernafasan, seterusnya boleh membawa kepada kanser paru-paru. Inilah faktor yang meyebabkan  masyarakat dunia sejak tahun-tahun kebelakangan ini menyeru agar berhati-hati terhadap aktiviti merokok.

Sepatutnya di zaman kita ini para ulamak sepakat membuat keputusan ini. Sesungguhnya keputusan ahli feqah dalam masalah ini diasaskan atas pandangan pakar perubatan. Bilamana pakar perubatan menjelaskan bahawa gejala ini (merokok) meninggalkan implikasi buruk kepada kesihatan manusia, sepatutnya ahli feqah menetapkan hukum haram kepada aktiviti merokok, kerana setiap perkara yang menyebabkan kesan  buruk kepada kesihatan manusia  mesti diharamkan di sisi syarak.


2. Sebab diharamkan:

Ada sesetengah orang mengatakan “ Bagaimanakah mereka boleh mengharamkan pokok ini tanpa nas ? “

Jawapannya :

Sesungguhnya tidak mesti penggubal undang-undang menaskan setiap satu perkara-perkara yang diharamkan, memadailah mereka menetapkan garis panduan atau kaedah-kaedah yang akan termasuk di bawahnya pecahan-pecahan dan unit-unit. Kaedah-kaedah ini boleh membataskannya. Adapun perkara-perkara yang khusus maka tidak mungkin membataskannya.

Memadai bagi penggubal undang-undang mengharamkan sesuatu yang jelek dan memudaratkan, supaya termasuk di bawahnya kebanyakan makanan dan minuman lain yang juga mempunyai unsur jelek dan memudaratkan. Kerana inilah ulamak sepakat mengharamkan pokok Hasyisyah ( pokok yang menyebabkan ketagih ) dan pokok lain yang mempunyai unsur ketagihan, walaupun tidak ada nas tertentu yang mengharamkannya secara khusus.

Imam Abu Muhammad Bin Hazam Azzahiri, kita sedia maklumi dia seorang yang berpegang dengan zahir nas, walaupun begitu beliau tetap mengharamkan sesuatu yang memudaratkan dengan memakannya, kerana berpegang dengan nas-nas yang umum. Beliau mengatakan : “Setiap sesuatu yang boleh memudaratkan maka ianya adalah haram, berdasarkan sabda nabi S.A.W yang bererti : “ Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan terhadap sesuatu, maka sesiapa memudaratkan dirinya sendiri atau orang lain maka dia telah tidak melakukan ihsan dan sesiapa yang tidak melakukan ihsan, maka dia telah menyalahi ketetapan, iaitu ketetapan Allah mesti melakukan ihsan  terhadap segala sesuatu.”

Boleh juga menjadikan dalil untuk hukum ini, sabda Nabi S.A.W yang bererti : “ tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan” , begitu juga firman Allah yang bermaksud : “ Janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah sangat mengasihi kamu”.

Antara ungkapan feqah yang paling baik berhubung pengharaman memakan makanan yang boleh memudaratkan ialah ungkapan Iam Nawawi didalam kitab  Raudah , beliau berkata ; "Setiap sesuatu yang memudaratkan  apabila dimakan seperti kaca, batu, racun maka hukum memakannya adalah haram. Setiap sesuatu yang suci yang tidak menimbulkan mudarat memakannya maka hukum memakannya adalah halal kecuali sesuatu yang dianggap jelek seperti mani dan hingus, maka memakannya adalah haram mengikut pendapat yang betul. Harus meminum ubat yang mengandungi sedikit racun yang tidak membahayakan, jika diperlukan".


3. Mudarat Harta

Manusia tidak harus membelanjakan hartanya kepada perkara yang tidak berfaedah sama ada di dunia atau akhirat, kerana mereka sebenarnya pemegang amanah ke atas harta yang ditinggalkan kepada mereka. Sebenarnya kesihatan dan harta adalah dua amanah Allah, maka tidak harus manusia memudaratkannya  atau mensia-siakannya. Kerana hakikat inilah, maka Nabi S.A.W melarang seseorang mensia-siakan hartanya.

Perokok membeli kemudaratan dirinya dengan kesucian hartanya, ini tidak harus di sisi syarak. Firman Allah yang bermaksud : “ Janganlah kamu membazir,sesungguhnya  Allah tidak suka kepada orang-orang yang membazir".

Tidak ragu-ragu lagi bahawa menghabiskan harta dengan merokok adalah perbuatan mensia-siakan harta. Maka bagaimana pula jika di samping merosakkan harta (kerosakan yang diyakini berlaku atau tidak yakin ) wujud juga perbuatan merosakkan badan ?


 4. Mudarat Penghambaan

Di sana ada kemudaratan lain yang biasanya tidak disedari oleh penulis-penulis mengenainya, iaitulah kejiwaan, saya maksudkan dengan mudarat jiwa ialah kebiasaan merokok dan seumpamanya akan memperhambakan jiwa manusia dan seterusnya kebiasaan yang hina ini akan menjadikan jiwa manusia sebagai mangsanya. Manusia tidak mampu meloloskan diri daripadanya dengan mudah apabila mereka ingin melakukannya pada sesuatu ketika kerana sebab-sebab tertentu, seperti kemunculan bahaya pada badannya, menampakkan kesan yang negatif dalam pendidikan anaknya ataupun kerana keperluannya yang mendesak untuk membelanjakan harta pada benda lain yang lebih berguna dan sepatutnya ataupun untuk sebab-sebab lain.

Melihatkan kepada mudarat penghambaan jiwa ini , kami mendapati sesetengah perokok sanggup menganiayai makan minum anak-anaknya dan perbelanjaan asas keluarganya, kerana ingin memuaskan tabiatnya ini, kerana dia sememangnya sudah tidak boleh dianggap orang yang mampu membebaskan diri daripadanya. Di suatu hari nanti apabila perokok telah menjadi lemah seumpama ini, kehidupannya pasti goyah, pertimbangannya jadi tidak seimbang, keadaannya hina, pemikirannya bercelaru dan emosinya mudah tertekan kerana satu-satu sebab atau tanpa sebarang sebab. Tidak ragu-ragu lagi kemudaratan seumpama ini patut diambil kira dalam mengeluarkan hukum merokok.

 
5. Merokok diharamkan di sisi syarak

Di zaman kita ini tidak ada pendapat yang boleh menghalalkan merokok dalam apa bentuk sekalipun, selepas Persatuan Sains Perubatan membicarakan panjang lebar implikasi buruk merokok serta kesannya yang negatif, golongan  elit dan orang awam juga mengetahui keburukan merokok dan dikuatkan lagi oleh perangkaan.

Apabila telah gugur pendapat bahawa merokok harus secara mutlak, maka yang ada hanyalah pendapat makruh dan haram. Sesungguhnya telah jelas kepada kita melalui perbincangan  lalu bahawa hujjah haram merokok lebih kemas dan mantap. Inilah pendapat kita . Perbincangan lalu juga dijadikan garis panduan bagi memastikan terdapat mudarat pada tubuh badan, mudarat pada harta, dan mudarat pada jiwa dengan sebab merokok secara berterusan. Sesungguhnya setiap perkara yang boleh menjejaskan kesihatan manusia ianya mesti diharamkan di sisi syarak.

Allah Taala berfirman dan maksudnya : “ Dan janganlah kamu campakkan diri-diri kamu ke kancah kebinasaan”, “ Dan janganlah kamu membunuh diri-diri kamu, sesungguhnya Allah amat mengasihi kamu”  ,   “ Dan janganlah kamu membazir, sesungguhnya Allah tidak suka  kepada  orang-orang yang membazir”.  “ Dan janganlah kamu   melakukan pembaziran,sesungguhnya orang-orang yang membazir adalah saudara syaitan.”  Di sana ada kemudaratan tubuh badan dan di sana juga ada kemudaratan harta benda, maka menggunakan sesuatu yang memudaratkan manusia adalah diharamkan, berdasarkan firman Allah yang bermaksud :  “ Janganlah kamu membunuh diri-diri kamu" . Kerana fakta inilah wajib kita berfatwa, merokok adalah haram di zaman kita ini.
Hakikat yang tidak boleh diragukan lagi bahawa kalangan doktor sepakat mengatakan terdapat kesan yang sangat buruk dalam aktiviti merokok.  Benar kesan buruknya tidak segera tapi beransur-ansur. Namun kesan mudarat segera dan  beransur-ansur adalah sama saja dari segi haramnya. Racun yang memberi kesan lambat atau segera sama saja, kedua-duanya diharamkan.

Manusia tidak harus memudaratkan atau membunuh dirinya dan mereka juga tidak boleh memudaratkan orang lain. Berkenaaan ini Nabi S.A.W bersabda : “ Tidak memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan “ , iaitu engkau tidak boleh memudaratkan diri engkau dan orang lain.

Merokok meninggalkan implikasi yang sangat buruk kepada diri manusia mengikut kesepakatan doktor sedunia, lantaran ini kerajaan-kerajaan sedunia mewajibkan syarikat yang mengiklan rokok menyebut “ Merokok Membahayakan Kesihatan”, selepas mereka yakin merokok memudaratkan semua orang. Justeru itu golongan fuqaha  tidak boleh berselisih pendapat tentang mengharamkan merokok.

Lima unsur asasi yang disebut oleh ahli-ahli usul dan orang yang mendalam dalam bidang agama, serta mewajibkan supaya bersungguh-sungguh dijaga dan tidak boleh dimudaratkannya, ialah Agama,  Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta Benda. Maka kesan merokok terhadap agama : ada di kalangan orang ramai tidak dapat berpuasa di bulan Ramadhan lantaran tidak dapat menahan diri dari merokok.

Keturunan turut menerima kesan buruk dari merokok, samada perokok itu salah seorang dari ibu, bapa atau kedua-duanya. Bahkan janin akan menerima kesan buruk ekoran ibu  yang merokok. Ini bermakna  perokok tidak memudaratkan dirinya sahaja bahkan ianya turut memudaratkan orang lain. Di sini ada yang dinamakan merokok secara terpaksa ataupun merokok dengan paksaan. Ini boleh berlaku melalui orang lain yang merokok tanpa rasa malu, sedangkan dia tidak merokok,  dia hanya menyedut asap rokok secara tidak langsung ketika dia duduk berhampiran perokok atau berada di persekitaran yang ada aktiviti merokok.

Maka anda wahai perokok, secara tidak langsung anda telah memudaratkan diri anda sendiri dan juga orang lain. Maka kerana kemudaratan ini dan kemudaratan yang lain merokok mesti diharamkan dan ulamak mesti sepakat mengharamkannya. Sesungguhnya ada sesetengah ulamak meletakkan sebagai paksi sebilangan besar hukum merokok di atas kemampuan kebendaan sahaja. Maka haram merokok bila mana perokok berada dalam kesempitan duit untuk merokok dan makruh bagi orang yang mampu membeli rokok. Ini adalah pendapat yang tidak betul dan tidak mantap.

Para ulamak dan doktor sedunia sepakat, menjadikan faktor mudarat tubuh badan dan mudarat jiwa sebagai satu faktor besar dalam menentukan hukum merokok, di samping mudarat harta. Sesungguhnya orang kaya tidak berhak membelanjakan dan menghabiskan hartanya dengan sewenang-wenangnya, kerana  hartanya itu  sebenarnya milik Allah dan masyarakat.

Orang Islam yang rasional sepatutnya menjauhkan diri dari penyakit yang merosakkan ini, kerana rokok telah diyakini mempunyai unsur-unsur yang jelek, ianya tidak tergolong dalam makanan yang berkualiti lantaran tiada faedah samada untuk dunia  dan akhirat.

Nasihat saya kepada pemuda-pemuda  secara khusus, supaya mereka mengelak diri dari terjebak dengan penyakit yang boleh merosakkan kesihatan mereka, melemahkan kekuatan dan kesuburan mereka. Mereka hendaklah tidak menjadi mangsa kekeliruan yang dibayangkan kepada mereka, bahawa merokok adalah tanda kelelakian dan tanda  peribadi merdeka.

Mana-mana individu dari kalangan pemuda yang terlibat dengan aktiviti merokok, mampu melepaskan diri daripadanya dan mengalahkannya  (kerana beliau masih diperingkat awal ) sebelum penyakit ini bertapak kukuh dan mengalahkannya jika tidak nanti sukar baginya melepaskan diri dari cengkamannya kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allah.

Menjadi tanggungjawab media massa memfokuskan kempen yang teratur dengan berbagai cara  untuk menjelaskan keburukan merokok. Tanggungjawab penyusun skrip, pengeluar dan penerbit filem, teater dan drama bersiri pula ialah mengekang propoganda ke arah merokok dengan mempamerkan rokok dalam gambaran yang sesuai dan tidak sesuai pada setiap keadaan.

Tanggungjawab kerajaan pula ialah berganding bahu membasmi penyakit ini dan membebaskan rakyat dari bahananya walaupun kerajaan mengalami kerugian cukai berjuta-juta, namun kesihatan rakyat  dan anak bangsa dari segi jasmani dan spiritual lebih penting dan berharga dari wang ringgit. Sebenarnya kerajaan menanggung kerugian dari segi kebendaan ketika mana kerajaan mengizinkan merokok. Ini adalah kerana kos yang dikeluarkan oleh kerajaan untuk menjaga pesakit yang menghidap pelbagai penyakit dan ancaman ekoran aktiviti merokok berlipat kali ganda melebihi hasil kutipan cukai yang dikenakan ke atas tembakau, kalau dibandingkan kerugian ekoran kekurangan produktiviti negara dengan sebab ramai perokok tidak dapat menjalankan tugas lantaran menderita pelbagai penyakit.

Kami memohon ke hadrat Allah Taala agar menyinari hati-hati kami memberi kefahaman yang mendalam kepada kami tentang agama kami, mengajar apa yang boleh memberi faedah kepada kami, memberi faedah dengan sesuatu yang kami telah tahu, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi hampir dengan hamba-hambaNya. Selamat dan salam ke atas penghulu kami Muhammad S.A.W, ahli keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

 WALLAHU  A`LAM

 sumber http://www.qaradawi.net/

BULAN REJAB – BUKTI ADANYA BALASAN DI AKHIRAT


Firman Allah SWT:

Maksudnya: “Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambaNya (Muhammad) pada malam hari dari Masjid Al-Haraam (di Makkah) ke Masjid Al-Aqsa (di Palestin), yang Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami. Sesungguhnya Allah jualah yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui” (Al-Israa’ 17:1).
Satu kisah penting berlaku menurut firman Allah di atas adalah Nabi Muhammad SAW diperjalankan (israk) dan dinaikkan ke langit (mikraj) sampai ke langit dan kembali ke bumi Mekah. Ia berlaku pada 27 Rejab, kalendar Hijrah.
Israk ialah perjalanan Nabi dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Aqsa dan Mikraj ialah Nabi dinaikkan ke Hadhratul-Qudus menemui Allah. Dalam perjalanan itu, berlaku secara mukjizat (hanya kepada Nabi Muhammad SAW), lalu baginda dipertontonkan dengan segala kehebatan kejadian Allahdi alam syurga dan neraka. Amat penting diketahui juga ialah baginda bertemu dengan para Nabi dan menerima daripada Allah SWT amanat sembahyang lima waktu yang kemudian difardukan untuk sekalian umat Islam.
Kesemuanya merupakan kehebatan akan kekuasaan Allah SWT yang ditunjukkan untuk diyakini, diimani dan diamalkan oleh setiap muslimin. Ia adalah kepercayaan keimanan sehingga kembalinya kita semua menemui Allah Rabbul Jalil.
Tazkirah Rejab

Sehubungan itu, pada kita semua diseru agar sepanjang bulan ini, tazkirah Rejab patut dikobarkan dengan kesedaran dan keinsafan diri untuk kita semua kental utuh menyakini akan kehidupan dunia pastinya menghadapi pula kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Falsafah agama sebegini, bagi seorang pemimpin pastinya dapat pula mengingatkan ahli atau rakyat yang dipimpinnya supaya semua lapisan dapat menjadikan sirah sepanjang Rejab ini sebagai panduan hidup yang hakiki.
Menghayatinya, atas sifat pemimpin atau Menteri Besar bagi sebuah negeri seperti Kelantan ini yang subur dengan kehidupan beragama, adalah menjadi tanggungjawab diperingat atau sentiasa dirungkai persoalan akhirat kepada rakyat demi keberkatan Allah SWT.
Oleh kerana itu, kesibukan program atau events anjuran Kerajaan Negeri sepanjang minggu pertama bulan Rejab ini, antaranya lawatan kerja ke Gua Musang bertemu rakyat di samping menyampaikan geran tanah, sambutan Hari Anak Muda Kelantan, menyampai kuliah pagi Jumaat di Medan Ilmu dan berkhutbah Jumaat serta bertemu dengan masyarakat Siam di Tumpat juga merasmikan Muktamar Dewan Ulama Negeri; di sananya saya turut memberi ingatan betapa menjadi asas iman untuk semua lapisan masyarakat mengambil pengajaran di sebalik peristiwa besar dalam sepanjang bulan Rejab, terutamanya peristiwa israk dan mikraj.
Kekayaan untuk akhirat
Satu poin penting suka disebutkan, betapa Nabi Muhammad SAW sebelum dinaikkan ke langit bertemu Allah SWT, ialah Nabi tidak diperiksa kesihatannya oleh doktor. Nabi diperiksa oleh malaikat dan Jibrail sendiri yang menguruskan – di belah dada dan dicuci dengan air zamzam – ia sebagai persediaan perjalanan yang penuh cabaran.
Atas kehebatan (mukjizat) kisah Nabi itu, maka apalah yang kita bangga sangat dengan kekayaan dunia yang kita nikmati ini? Hakikatnya Allah berkuasa menentukan segala-galanya, maka kepada Allah kita menyerah diri.
Justeru apa saja nilai kekayaan yang kita ada, sama ada dalam bentuk wang ringgitkah, geran tanahkah, anak-cucukah? Atau apa saja kekayaan yang dibanggakan, hakikatnya kita kena ingat ia adalah di bawah ketentuan (kekuasaan) Allah segala-galanya.
Firman Allah SWT:

Maksudnya: “Maha Berkat (serta Maha Tinggi lah kelebihan) Tuhan yang menguasai pemerintahan (dunia dan akhirat); dan memanglah Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu; Dia lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) – untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya; dan Ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun, (bagi orang-orang yang bertaubat)” (Al-Mulk 67:1-2).
Atas ingatan ini, ada peringatan yang lebih besar lagi, iaitu semua kita pasti menghadapi akhirat. Di sana berlaku alam syurga dan neraka. Atas sifat umat Islam yang sejati hendaklah menjadi pilihannya ialah syurga. Maka kekayaan dunia yang kita bangga itu tidak boleh dibawa ke akhirat. Yang boleh dibawa ialah amal kebaikan, dan nilai kekayaan yang kita miliki hendaklah dimanfaatkan secara kebaikan. Ia menjadi saham untuk kita ke syurga!
Bagi umat Islam, tiada pilihan melainkan menerima dengan penuh syukur apa saja kekayaan dan dimanfaatkan untuk bekalan ke syurga. Oleh itu, rajin-rajinlah kita mengusaha segala kekayaan yang kita ada (termasuk tanah, kebun, hatta wang ringgit) menjadi sebahagian daripada saham akhirat. Sama-samalah kita bersyukur atas segala nikmat kekayaan kurniaan Allah SWT.

Tuesday, May 8, 2012

Fatwa & Hukum Menyambut April Fool


Pada 1 April setiap tahun, sebahagian masyarakat menyambut hari tersebut dengan mengadakan perbuatan menipu atau gurauan untuk mengenakan orang lain.  Mereka memanggil tarikh 1 April ini sebagai April Fool.
Kita sedia maklum bahawa April Fool bukanlah budaya kita, tetapi ia merupakan budaya yang dibawa masuk dari Barat.  Dan ISLAM juga sangat-sangat melarang ummatnya melakukan perbuatan menipu dengan sengaja, walau dalam bentuk apa sekalipun, samada dalam bentuk gurauan ataupun bukan.
Mari kita lihat beberapa pendapat `ulama muktabar berkaitan isu April Fool ini:

1)  Shaikh Dr. Yusuf al-Qaradawi:

Beliau menyebutkan bahawa menipu adalah satu sifat yang buruk. Ia tidak layak diamalkan oleh manusia yang berakhlak dan beriman. Bahkan ia adalah satu petanda kemunafikan. Ini kerana Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam bersabda:
“Orang munafik mempunyai tiga ciri: Dia menipu, tidak menepati janji, dan tidak menunaikan amanah.” [HR al-Bukhari dan Muslim]
Rasulullah sallAllahu Alaihi Wassalam memberikan amaran ke atas perbuatan menipu dengan tujuan menghiburkan manusia. Baginda sallallahu `alaihi wasallam bersabda:
“Kecelakaan ke atas sesiapa yang menipu untuk menghiburkan manusia, kecelakaan ke atasnya, kecelakaan ke atasnya.” [HR Abu Daud, at-Tirmizi, dan an-Nasai’e]
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam juga bersabda:
“Seseorang itu tidak dikira benar-benar beriman hinggalah dia meninggalkan penipuan yang bertujuan untuk bergurau dan meninggalkan berdebat walaupun dia membawa kebenaran.”  [HR Ahmad dan At-Thabrani].
Sebahagian hadis Nabi sallallahu `alaihi wasallam turut memberikan amaran ke atas umat Islam daripada menakutkan orang lain sama ada secara serius mahupun bergurau. Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam bersabda:
“Tidak dibenarkan seseorang menakutkan seorang Muslim.” [HR Abu Daud]
Oleh kerana itu, menipu adalah dilarang di dalam apa bentuk pun. Sambutan ini (hari April Fool) adalah dilarang kerana empat sebab:
  1. Larangan menipu yang sudah termaktub di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
  2. Kesedihan dan ketakutan yang tidak berasas (yang disebabkan penipuan itu) yang mungkin boleh menimpa seseorang mahupun kesemua ahli keluarganya walaupun hanya untuk satu jam.
  3. Pengkhianatan ke atas kepercayaan yang diberikan.
  4. Meniru budaya buruk yang bukan milik kita, iaitu penipuan.

2)  Shaikh Atiyyah Saqr:

Adalah menjadi kesepakatan kesemua agama dan akal yang waras bahawa kejujuran itu satu kebaikan, dan penipuan adalah lawannya. Untuk menyatakan kebenaran, kata-katamu hendaklah menerangkan realiti, sedangkan untuk menyatakan penipuan adalah dengan menyampaikan apa yang bercanggah dengan apa yang kamu katakan mahupun lakukan. Seburuk-buruk pendustaan adalah sumpah yang palsu, bahkan itu adalah satu bentuk kemunafikan.
Penipuan adalah dilarang kecuali ia dilakukan dalam keadaan dharurat. Di dalam kes tersebut, kaedah “dharurat menjadikan yang haram harus” digunakan. Dharurat hanya boleh diambil apabila tiada pilihan lain. Salah satu bentuk penipuan yang dibenarkan ialah apa yang kita panggil sebagai helah, iaitu menggunakan perkataan yang membawa lebih daripada satu maksud. Umat Islam mungkin boleh mengambil pemahaman yang positif daripada penafsiran perkataan (yang mempunyai dua makna) tersebut.
Diriwayatkan bahawa penipuan dibenarkan untuk memberikan manfaat, bukan untuk melakukan kerosakan. Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam bersabda:
“Seseorang yang mendamaikan di antara dua insan dan berkata perkara yang baik, walaupun ia tidak benar, bukanlah seorang penipu.” [HR al-Bukhari dan Muslim].
Ummu Kalsum binti ‘Uqbah turut berkata, di dalam tambahan lafaz ke atas hadis itu, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam membenarkan menipu kecuali di dalam tiga situasi; ketika perang, untuk mendamaikan di antara dua pihak yang bertelagah, dan perbualan biasa antara suami isteri.” Apa yang dimaksudkan dengan perbualan biasa antara suami isteri ialah untuk meredakan kesusahan di dalam kehidupan. [Islamonline.net]

3)  Shaikh Shalih Fauzan:

Di dalam laman islamqa.com fatwa nombor: 10834, beliau menyatakan bahawa:
Penipuan adalah tidak dibenarkan langsung, pada bila-bila masa sahaja. Bahkan adalah tidak dibenarkan untuk meniru orang kafir dan menjadi seperti mereka, sama ada pada hari ini (hari April Fool), mahupun pada hari-hari yang lain. Ini kerana Rasulullah sallAllahu `alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia sebahagian daripada mereka.”  
Berdasarkan fatwa-fatwa di atas, kita akan mendapati bahawa budaya April Fool jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menuntut umat Islam sentiasa bersifat jujur.
Muslimin/muslimat sekalian,
Jika tanpa melihat fatwa dan pandangan ulama pun, kita sedia maklum bahawa amalan menipu melanggar etika seorang manusia yang bermoral.  Tiada satu pun manusia yang normal fikirannya yang suka atau rela dia ditipu.
Apatah lagi ditambah lagi dengan komen-komen para ulama yang disertakan hadith-hadith Nabi sallAllahu `alaihi wasallam yang melarang kita menipu, maka ternyatalah bahawa tradisi April Fool ini wajar dihentikan dan ditinggalkan oleh mereka yang selalu menyambutnya, walau untuk tujuan bergurau!  (Ketiga-tiga pendapat ulama di atas telah saya petik dari laman sebuah laman blog, terima kasih.)
Mudah-mudahan peringatan ini bisa membuka minda dan menyedarkan kita semua betapa ISLAM adalah agama yang sejahtera dan mensejahterakan.  Larangan ini bagi menjaga hak setiap jiwa manusia agar tidak teraniaya.

Kenali Lelaki Yang D.A.Y.U.S



Bukan mudah menjadi suami kerana tanggungjawab yang digalas oleh suami adalah sangat besar terutama dalam bab tanggungjawab mereka terhadap isteri mereka dan anak-anak perempuan mereka. Bagi memudahkan kefahaman, tulisan ringkas ini akan fokus kepada isu lelaki dayus yang dimaksudkan oleh Nabi s.a.w tidak akan masuk syurga.
Nabi s.a.w bersabda:
ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه، والمترجلة، والديوث. رواه أحمد والنسائي
Ertinya: Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat (bermakna tiada bantuan dari dikenakan azab) mereka di hari kiamat: Si penderhaka kepada ibu bapa, si perempuan yang menyerupai lelaki dan si lelaki dayus. (H.R. Ahmad dan An-Nasaie; Albani mengesahkannya Sahih : Ghayatul Maram, no. 278)
Dalam sebuah hadith lain pula:

ثلاثةٌ قد حَرّمَ اللهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – عليهم الجنةَ : مُدْمِنُ الخمر ، والعاقّ ، والدّيّوثُ الذي يُقِرُّ في أَهْلِهِ الخُبْثَ . رواه أحمد والنسائي .
Ertinya: Tiga yang telah Allah haramkan baginya syurga: Orang yang ketagih arak, si penderhaka kepada ibu bapa dan si dayus yang membiarkan maksiat dilakukan oleh ahli keluarganya. (H.R. Ahmad)
Malah banyak lagi hadith-hadith yang membawa makna yang hampir dengan dua hadith ini. Secara ringkasnya, apakah dan siapakah lelaki dayus?
Erti Dayus
Dayus telah disebutkan dalam beberapa riwayat athar dan hadith yang lain iaitu:
1. Sabda Nabi s.a.w:
وعن عمار بن ياسر عن رسول الله قال ثلاثة لا يدخلون الجنة أبدا الديوث والرجلة من النساء والمدمن الخمر قالوا يا رسول الله أما المدمن الخمر فقد عرفناه فما الديوث قال الذي لا يبالي من دخل على أهله
Ertinya: Dari Ammar bin Yasir berkata, ia mendengar dari Rasulullah s.a.w bersabda: Tiga yang tidak memasuki syurga sampai bila-bila iaitu si dayus, si wanita yang menyerupai lelaki dan orang yang ketagih arak. Lalu sahabat berkata: Wahai Rasulullah, kami telah faham erti orang yang ketagih arak, tetapi apakah itu dayus? Bersabda Nabi s.a.w: Iaitu orang yang tidak memperdulikan siapa yang masuk bertemu dengan ahlinya (isteri dan anak-anaknya). (H.R. At-Thabrani; Majma az-Zawaid, 4/327 dan rawinya adalah thiqat)
Dari hadith di atas, kita dapat memahami bahawa maksud lelaki dayus adalah si suami atau bapa yang langsung tiada perasaan risau dan ambil endah dengan siapa isteri dan anaknya bersama, bertemu, malah sebahagiannya membiarkan sahaja isterinya dan anak perempuannya dipegang dan dipeluk oleh sebarangan lelaki lain.
2. Pernah juga diriwayatkan dalam hadith lain, soalan yang sama dari sahabat tentang siapakah dayus, lalu jawab Nabi:-
قالوا يا رسول الله وما الديوث قال من يقر السوء في أهله
Ertinya: Apakah dayus itu wahai Rasulullah? Jawab Nabi: Iaitu seseorang (lelaki) yang membiarkan kejahatan (zina, buka aurat, bergaul bebas) dilakukan oleh ahlinya (isteri dan keluarganya)
Penerangan Ulama Tentang Lelaki Dayus
Jika kita melihat tafsiran oleh para ulama berkenaan istilah dayus, ia adalah seperti berikut:
هو الذي لا يغار على أهله
Ertinya: Seseorang yang tidak ada perasaan cemburu (kerana iman) terhadap ahlinya (isteri dan anak-anaknya) (An-Nihayah,2/147 ; Lisan al-Arab, 2/150)
Imam Al-‘Aini pula berkata: Cemburu lawannya dayus. (Umdatul Qari, 18/228)
Berkata pula An-Nuhas:
قال النحاس هو أن يحمي الرجل زوجته وغيرها من قرابته ويمنع أن يدخل عليهن أو يراهن غير ذي محرم
Ertinya: Cemburu (iaitu lawan kepada dayus) adalah seorang lelaki itu melindungi isterinya dan kaum kerabatnya dari ditemui dan dilihat (auratnya) oleh lelaki bukan mahram. (Tuhfatul Ahwazi, 9/357)
Disebut dalam kitab Faidhul Qadir:
فكأن الديوث ذلل حتى رأى المنكر بأهله فلا يغيره
Ertinya: Seolah-olah takrif dayus itu membawa erti kehinaan (kepada si lelaki) sehingga apabila ia melihat kemungkaran (dilakukan) oleh isteri dan ahli keluarganya ia tidak mengubahnya. (Faidhul Qadir, 3/327)
Imam Az-Zahabi pula berkata:
فمن كان يظن بأهله الفاحشة ويتغافل لمحبته فيها فهو دون من يعرس عليها ولا خير فيمن لا غيرة فيه
Ertinya: Dayus adalah sesiapa yang menyangka (atau mendapat tanda) bahawa isterinya melakukan perkara keji (seperti zina) maka ia mengabaikannya kerana cintanya kepada isterinya, maka tiada kebaikan untuknya dan tanda tiada kecemburuan (yang diperlukan oleh Islam) dalam dirinya. (Al-Kabair, 1/62)
Imam Ibn Qayyim pula berkata:
قال ابن القيم وذكر الديوث في هذا وما قبله يدل على أن أصل الدين الغيرة من لا غيرة له لا دين له فالغيرة تحمي القلب فتحمى له الجوارح فترفع السوء والفواحش وعدمها يميت القلب فتموت الجوارح فلا يبقى عندها دفع البتة
Ertinya: Sesungguhnya asal dalam agama adalah perlunya rasa ambil berat (protective) atau kecemburuan (terhadap ahli keluarga), dan barangsiapa yang tiada perasaan ini maka itulah tanda tiada agama dalam dirinya, kerana perasaan cemburu ini menjaga hati dan menjaga anggota sehingga terjauh dari kejahatan dan perkara keji, tanpanya hati akan mati maka matilah juga sensitiviti anggota (terhadap perkara haram), sehingga menyebabkan tiadanya kekuatan untuk menolak kejahatan dan menghindarkannya sama sekali.
Dayus Adalah Dosa Besar
Ulama’ Islam juga bersetuju untuk mengkategorikan dayus ini dalam bab dosa besar, sehingga disebutkan dalam satu athar:
لَعَنَ اللَّهُ الدَّيُّوثَ ( وَاللَّعْنُ مِنْ عَلَامَاتِ الْكَبِيرَةِ فَلِهَذَا وَجَبَ الْفِرَاقُ وَحَرُمَتْ الْعِشْرَةُ)
Ertinya: Allah telah melaknat lelaki dayus (laknat bermakna ia adalah dosa besar dan kerana itu wajiblah dipisahkan suami itu dari isterinya dan diharamkan bergaul dengannya) (Matalib uli nuha, 5/320)
Walaupun ia bukanlah satu fatwa yang terpakai secara meluas, tetapi ia cukup untuk menunjukkan betapa tegasnya sebahagian ulama dalam hal kedayusan lelaki ini. Petikan ini pula menunjukkan lebih dahsyatnya takrifan para ulama tentang erti dayus dan istilah yang hampir dengannya :
والقواد عند العامة السمسار في الزنى
Ertinya: Al-Qawwad (salah satu istilah yang disama ertikan dengan dayus) di sisi umum ulama adalah broker kepada zina. (Manar as-sabil, 2/340 , rawdhatul tolibin, 8/186)
Imam Az-Zahabi menerangkan lagi berkenaan perihal dayus dengan katanya:
الديوث وهو الذي يعلم بالفاحشة في أهله ويسكت ولا يغار وورد أيضا أن من وضع يده على امرأة لا تحل له بشهوة
Ertinya: Dayus, iaitu lelaki yang mengetahui perkara keji dilakukan oleh ahlinya dan ia sekadar senyap dan tiada rasa cemburu (atau ingin bertindak), dan termasuk juga ertinya adalah sesiapa yang meletakkan tangannya kepada seorang wanita yang tidak halal baginya dengan syahwat. (Al-kabair, 1/45)
Cemburu Dituntut Islam & Jangan Marah
Ada isteri yang menyalahkan suami kerana terlalu cemburu, benar cemburu buta memang menyusahkan, memang dalam hal suami yang bertanya isteri itu dan ini menyiasat, saya nasihatkan agar isteri janganlah memarahi suami anda yang melakukan tindakan demikian dan jangan juga merasakan kecil hati sambil membuat kesimpulan bahawa suami tidak percaya kepada diri anda. Kerap berlaku, suami akan segera disalah erti sebagai ‘tidak mempunyai kepercayaan’ kepada isteri.
Sebenarnya, kita perlu memahami bahawa ia adalah satu tuntutan dalam Islam dan menunjukkan anda sedang memiliki suami yang bertanggungjawab dan sedang subur imannya.
Selain itu, bergembiralah sang suami yang memperolehi isteri solehah kerana suami tidak lagi sukar untuk mengelakkan dirinya dari terjerumus dalam lembah kedayusan. Ini kerana tanpa sebarang campur tangan dan nasihat dari sang suami, isteri sudah pandai menjaga aurat, maruah dan dirinya.
Nabi s.a.w bersabda:
من سعادة ابن آدم المرأة الصالحة
Ertinya: Dari tanda kebahagian anak Adam adalah memperolehi wanita solehah (isteri dan anak). (H.R. Ahmad, no. 1445, 1/168)
Memang amat beruntung, malangnya tidak mudah memperolehi isteri solehah di zaman kehancuran ini, sebagaimana sukarnya mencari suami yang tidak dayus. Sejak dulu, agak banyak juga email dari pelbagai golongan muda menyebut tentang keterlanjuran mereka secara ‘ringan’ dan ‘berat’, mereka ingin mengetahui cara bertaubat.
‘Ringan-ringan’ Sebelum Kahwin
Jika seorang bapa mengetahui ‘ringan-ringan’ anak dan membiarkannya, ia dayus. Ingin ditegaskan, seorang wanita dan lelaki yang telah ‘ringan-ringan’ atau ‘terlanjur’ sebelum kahwin di ketika bercinta, tanpa taubat yang sangat serius, rumahtangga mereka pasti goyah. Kemungkinan besar apabila telah berumahtangga, si suami atau isteri ini akan terjebak juga dengan ‘ringan-ringan’ dengan orang lain pula.
Hanya dengan taubat nasuha dapat menghalangkan aktiviti mungkar itu dari melepasi alam rumahtangga mereka. Seterusnya, ia akan merebak pula kepada anak-anak mereka, ini kerana benih ‘ringan-ringan’ dan ‘terlanjur’ ini akan terus merebak kepada zuriat mereka. Awas!!
Dalam hal ini, semua suami dan ayah perlu bertindak bagi mengelakkan diri mereka jatuh dalam dayus. Jagalah zuriat anda. Suami juga patut sekali sekala menyemak handphone isteri, beg isteri dan lain-lain untuk memastikan tiada yang diragui. Mungkin ada isteri yang curang ini dapat menyembunyikan dosanya, tetapi sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan tertangkap jua.
Pasti akan ada wanita yang kata, “Habis, kami ini tak payah check suami kami ke ustaz?” Jawabnya, perlu juga, cuma topic sekarang ni sedang menceritakan tanggungjawab suami. Maka perlulah fokus kepada tugas suami dulu.
Cemburu seorang suami dan ayah adalah wajib bagi mereka demi menjaga maruah dan kehormatan isteri dan anak-anaknya.
Diriwayatkan bagaimana satu peristiwa di zaman Nabi:
قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ : لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسّيْفِ غَيْرُ مُصْفِحٍ عَنْهُ ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه على آله وسلم فَقَالَ : أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ ؟ فَوَ الله لأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ ، وَالله أَغْيَرُ مِنّي ، مِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ الله حَرّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَن.
Ertinya: Berkata Ubadah bin Somit r.a: Jika aku nampak ada lelaki yang sibuk bersama isteriku, nescaya akan ku pukulnya dengan pedangku, maka disampaikan kepada Nabi akan kata-kata Sa’ad tadi, lalu Nabi s.a.w bersabda : Adakah kamu kagum dengan sifat cemburu (untuk agama) yang dipunyai oleh Sa’ad? Demi Allah, aku lebih kuat cemburu (ambil endah dan benci demi agama) berbandingnya, malah Allah lebih cemburu dariku, kerana kecemburuan Allah itulah maka diharamkan setiap perkara keji yang ternyata dan tersembunyi. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Lihat betapa Allah dan RasulNya inginkan para suami dan ayah mempunyai sifat protective kepada ahli keluarga dari melakukan sebarang perkara keji dan mungkar, khasnya zina.
Bila Lelaki menjadi Dayus?
Secara mudahnya cuba kita lihat betapa ramainya lelaki akan menjadi DAYUS apabila:
1. Membiarkan kecantikan aurat, bentuk tubuh isterinya dinikmati oleh lelaki lain sepanjang waktu pejabat (jika bekerja) atau di luar rumah.
2. Membiarkan isterinya balik lewat dari kerja yang tidak diketahui bersama dengan lelaki apa dan siapa, serta apa yang dibuatnya di pejabat dan siapa yang menghantar.
3. Membiarkan aurat isterinya dan anak perempuannya dewasanya terlihat (terselak kain) semasa menaiki motor atau apa jua kenderaan sepanjang yang menyebabkan aurat terlihat.
4. Membiarkan anak perempuannya ber’dating’ dengan tunangnya atau teman lelaki bukan mahramnya.
5. Membiarkan anak perempuan berdua-duaan dengan pasangannya di rumah kononnya ibu bapa ‘sporting’ yang memahami.
6. Menyuruh, mengarahkan dan berbangga dengan anak perempuan dan isteri memakai pakaian yang seksi di luar rumah.
7. Membiarkan anak perempuannya memasuki akademi fantasia, mentor, gang starz dan lain-lain yang sepertinya sehingga mempamerkan kecantikan kepada jutaan manusia bukan mahram.
8. Membiarkan isterinya atau anaknya menjadi pelakon dan berpelukan dengan lelaki lain, kononnya atas dasar seni dan lakonan semata-mata. Adakah semasa berlakon nafsu seorang lelaki di hilangkan? Tidak sama sekali.
9. Membiarkan isteri kerja dan keluar rumah tanpa menutup aurat dengan sempurna.
10. Membiarkan isteri disentuh anggota tubuhnya oleh lelaki lain tanpa sebab yang diiktiraf oleh Islam seperti menyelematkannya dari lemas dan yang sepertinya.
11. Membiarkan isterinya bersalin dengan dibidani oleh doktor lelaki tanpa terdesak dan keperluan yang tiada pilihan.
12. Membawa isteri dan anak perempuan untuk dirawati oleh doktor lelaki sedangkan wujudnya klinik dan hospital yang mempunyai doktor wanita.
13. Membiarkan isteri pergi kerja menumpang dengan teman lelaki sepejabat tanpa sebarang cemburu.
14. Membiarkan isteri kerap berdua-duan dengan pemandu kereta lelaki tanpa sebarang pemerhatian.
Terlalu banyak lagi jika ingin coretkan di sini. Kedayusan ini hanya akan sabit kepada lelaki jika semua maksiat yang dilakukan oleh isteri atau anaknya secara terbuka dan diketahui olehnya, adapun jika berlaku secara sulit, suami tidaklah bertanggungjawab dan tidak sabit ‘dayus’ kepada dirinya.
Mungkin kita akan berkata dalam hati: “Jika demikian, ramainya lelaki dayus di kelilingku.”
Lebih penting adalah kita melihat, adakah kita sendiri tergolong dalam salah satu yang disebut tadi. Awas wahai lelaki beriman, jangan kita termasuk dalam golongan yang berdosa besar ini. Wahai para isteri dan anak-anak perempuan, jika anda sayangkan suami dan bapa anda, janganlah anda memasukkan mereka dalam kategori dayus yang tiada ruang untuk ke syurga Allah s.w.t. Sayangilah dirimu dan keluargamu. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.
Akhirnya, wahai para suami dan ayah, pertahankan agama isteri dan keluargamu walau terpaksa bermatian kerananya. Nabi s.a.w bersabda:
من قتل دون أهله فهو شهيد
Ertinya: Barangsiapa yang mati dibunuh kerana mempertahankan ahli keluarganya, maka ia adalah mati syahid. (H.R. Ahmad; sahih menurut Syeikh Syuaib Arnout)

Bergurau Juga Sunnah

Bergurau juga adalah suatu fitrah kita para hambaNya Allahu Rabbi. Kita diberi perasaan untuk girang bersama ahli keluarga dan kenalan. Apatah pula dengan bergurau itu menzahirkan hubungan yang mesra.. Asalkan tidak melampaui batas antara bukan muhrim, bergurau sepanjang masa tanpa henti, berkait hinaan agama dan bertujuan untuk bermusuh-musuhan..

Q: Apakah Rasul kita juga pernah bergurau..?
A : Ya, baginda Rasulullah  صلى الله عليه وسلم pernah ‎bergurau dengan para sahabat. Maka ianya juga adalah suatu sunnah asalkan memenuhi dengan syarat seperti dijelaskan sebelum ini.
Q: Apakah ada dalam sejarah yang Rasulullah  صلى الله عليه وسلم pernah bergurau..?
A : Sudah tentu.
Daripada Anas bin Malik رضي الله عنه,
“Suatu hari, Zahir, seorang lelaki kampung (badwi) memberikan hadiah dari kampungnya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Rasulullah صلى الله عليه وسلم pun membalas bekalan kepadanya ketika ia hendak pulang. Baginda صلى الله عليه وسلم bersabda;
“Zahir adalah orang badwi yang merupakan sebahagian dari kita, dan kita adalah orang kota yang akan selalu menyayanginya.”
Rasulullah صلى الله عليه وسلم amat menyenangi Zahir, meskipun beliau tidak memiliki wajah yang rupawan. Suatu ketika, Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendatanginya ketika dia sedang menjual barang dagangan.
Baginda صلى الله عليه وسلم mendakap Zahir dari belakang.
Zahir tidak dapat melihat siapa yang  mendakapnya seraya berkata;
“Siapa ini..? Lepaskan aku!”
Kemudian Zahir menoleh dan mengetahui bahawa orang yang mendakapnya adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Mengetahui hal itu, Zahir terus berusaha agar belakangnya menyentuh dada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, kemudian baginda صلى الله عليه وسلم berkata ;
“Siapakah yang hendak membeli budak ini..?”
Hadith Riwayat | At Tirmidzi | Ahmad | Abdurrazzaq | Abu Ya’la | Baihaqi | Bagawi
Begitulah Rasulullah bergurau senda dengan para sahabatnya.. Gambaran ini menunjukkan para alim ulama juga bersahabat dan bergurau seperti sunnahnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Hasan Al Basri meriwayatkan:
“Seorang perempuan tua telah datang kepada Nabi Muhammad, lalu berkata;
“Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah SWT supaya aku dapat masuk syurga.”
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Wahai ibu fulan! Sesungguhnya orang tua tidak boleh masuk syurga.”
Lalu menangislah si perempuan tua itu. Dengan segera  Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Khabarkan kepada perempuan itu bahawa sesungguhnya dia tidak akan masuk syurga dalam keadaan dia tua.”
Lalu dibacakan firman Allah :
إِنَّآ أَنشَأۡنَـٰهُنَّ إِنشَآءً۬
Sesungguhnya Kami telah menciptakan isteri-isteri mereka dengan ciptaan istimewa
فَجَعَلۡنَـٰهُنَّ أَبۡكَارًا
Serta Kami jadikan mereka sentiasa dara (yang tidak pernah disentuh),
عُرُبًا أَتۡرَابً۬ا
Yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya.
Al Quran | Surah Al Waqi’ah | Ayat 35 – 37
Hadith Riwayat | At Tirmidzi | Ath Thabrani
Baginda Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bergurau tetapi dengan kebenaran..
Baginda Rasulullah  صلى الله عليه وسلم juga pernah bergurau dalam satu riwayat;
“Daripada Anas bin Malik رضي الله عنه ,
Seorang lelaki meminta kenderaan Rasulullah صلى الله عليه وسلم  lalu baginda bersabda:
“Sesungguhnya aku akan membawamu di atas anak unta betina.
Lalu orang itu berkata:
“Apa yang dapat saya buat di atas anak unta betina? ”
Baginda  صلى الله عليه وسلم menjawab:
“Bukankah yang melahirkan Al-Ibbal (unta jantan tua) itu hanya unta betina iaitu ibunya dan unta jantan tua itu ialah anaknya”.
Hadith Riwayat | At-Tirmidzi
Lihatlah bagaimana mesranya baginda Rasulullah  صلى الله عليه وسلم dengan para sahabatnya.. Maka berguraulah dengan adab-adab dan demi meraikan ukhwah serta menzahirkan kemesraan namun penuh rasa kehormatan..
Dipetik dari Qhazanah

Kaedah Pengiraan Waktu Dhuha

Solat sunat Dhuha merupakan satu ibadat sunat yang dituntut berdasarkan hadith Rasulullah S.A.W yang diriwayatkan daripada Ibn Abbas R.A. seperti berikut;
ثلاث هن علي فرائض، وهن لكم تطوع: الوتر، والنحر وصلاة الضحى
Maksudnya:“Ada tiga perkara yang hukumnya wajib ke atasku dan sunat (sukarela) bagi kamu, sembahyang witir, ibadah korban dan sembahyang Dhuha”[1]
Waktu melakukannya ialah dari waktu naik matahari sehingga waktu condong matahari kea rah barat dan pengiraan waktu Dhuha secara astronomi adalah berdasarkan formula waktu Syuruk ditambah dengan satu pertiga perbezaan waktu Syuruk dan waktu Subuh atau secara purata waktu Dhuha bermula 28 minit selepas waktu Syuruk dan ia berakhir setelah masuk waktu Zuhur.
Contoh pengiraan berdasarkan formula astronomi;
- Waktu Dhuha = Waktu Syuruk + 1/3 (waktu Syuruk – Waktu Subuh)
Contoh Jadual Waktu Sembahyang di Mukah (Zon 4) pada 16 Mac 2011 ;
Waktu Syuruk: 0638 pagi
Waktu Subuh : 0524 pagi
Waktu Dhuha di Mukah pada 16 Mac 2011 ialah :
Waktu Syuruk ( 0638 pagi) + 1/3 (waktu Syuruk – Waktu Subuh) (0638 pagi – 0524 pagi = 1jam 14 Minit @ 74 minit)
= 0638 pagi + 1/3 (74 Minit)
= 0638 pagi + 25 minit
= 0703 pagi.
(Unit Falak, Bahagian Penyelidikan JAKIM. Kaedah Panduan Falak Syarie .hlm.44)
[1] Wahbah Az Zuhaili.1996. Fiqh dan Perundangan Islam. Penterjemah Syed Ahmad Syed Hussain et. el. Jilid III hlm. 690